Judul
buku : Jejak Jerit di Tambun Bungai
(Kalimantan Tengah)
Pengarang
: 1. Elis Setiati
2. Imam Qalyubi
3. Lukman Juhara
4. Mohammad Alimulhuda
5. Noor Hadi
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia
Tahun
Terbit : 2018
Tebal
Buku : 129 halaman
ISBN
: 978-602-0812-27-4
Resensi
: Riska Dwi Lestari (Kalimantan Tengah)
Judul
Resensi : Jeritan di Tanah Kalimantan
Sinopsis
:
Dalam
seri puisi esai yang merupakan gabungan puisi esai karya Elis Setiati, Imam
Qalyubi, Lukman Juhara, Mohammad Alimulduha, dan Noor Hadi menceritakan tentang orang-orang yang mengalami peristiwa
mengharukan, menyedihkan, memilukan, sampai perjuangan dalam menghadapi
kenyataan pahit yang ada di sekitar pulau Kalimantan dan dimana hanya
segelintir orang yang mengetahui dan peduli akan kesulitan mereka.
Puisi
esai yang berjudul “AIR MATA LITERASI” karya Elis Setiati menceritakan tentang
masyarakat di bantaran Sungai Kahayan,
Tanjung Perawan, Bahaur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang kurang terdukung
dalam memperoleh pengetahuan karena kurangnya prasarana buku untuk dibaca yang
menjadikan masyarakat sekitar mengalami buta aksara dan keterbatasan pengetahuan,
padahal minat masyarakat pedalaman dalam membaca sangat tinggi. Namun Tuhan
tidak tinggal diam, ada saja cara-Nya untuk membantu umatnya yang sedang
kesusahan,
yaitu Ditpolair Polda Kalteng yang berjiwa dedikasi tinggi untuk meningkatkan
ilmu pengetahuan serta memberantas buta aksara di daerah pedalaman tepian
sungai Kalimantan Tengah.
Puisi
esai kedua karya Imam Qalyubi yang berjudul “JERIT KAHAYAN” bercerita tentang
seseorang yang amat rindu dengan Sungai Kahayan yang dulu ia kenal. Sungai
Kahayan yang menjadi sumber dan segala sumber pangan dan sumber kehidupan
masyarakat suku Dayak. Namun Sungai Kahayan yang kemudian dirusak kekanyaannya
oleh orang orang yang tak bertanggung jawab dengan membangun pabrik-pabrik yang
mengakibatkan tercemarnya sungai Kahayan dan
mematikan kehidupan masyarakat yang sumber kehidupnya bergantung kepada
sungai Kahayan.
Dalam
puisi esai ketiga karya Lukman Juhara yang berjudul “JEJAK SUMIGRAN, JEJAK
TRANSMIGRAN” berkisah tentang para sumigran yang berusaha mencari penghidupan
dengan cara bertransmigrasi ke pulau Kalimantan dengan harapan dapat mendapat
pekerjaan. Para Transmigran yang telah berusaha keras membuat hutan belantara
menjadi lahan pertanian dan membuka akses jalan sehingga dapat memperoleh akses
kesehatan. Namun upaya baik para Sumigran tidak sepenuhya baik dimata orang
orang. Sebaliknya, Transmigran dianggap perusak dan penyebab kebakaran hutan.
Transmigran dianggap menimbulkan kabut asap karena membakar hutan yang akan
dijadikan lahan pertanian.
Puisi
keempat berjudul “PLEIDOI” karya Mohammad Alimuihuda bercerita tentang seorang
warga pinggiran kali yang dibawa kemeja hijau dan dituduh sebagai pelaku
perusak lahan sawit milik pemerintah. Ia mengelak atas tuduhan tersebut dan
berusaha keras menjelaskan apakah mungkin dirinya yang melakukan hal tersebut.
Namun Hakim Yang Mulia telah membacakan keputusannya, walupun mengelak dan
segala fakta yang ia utarakan namun bukti konkrit dan para warga tidak dapat
ditolak oleh Hakim Yang Mulia, ia pun membisu meratapi nasib yang menimpanya.
Puisi
kelima karya Noor Hadi yang berjudul “SENJA DI BUMI TAMBUN BUNGAI” menceritakan
tentang seorang pemuda lulusan SMP yang mencoba merantau ke kota Palangka Raya
untuk mengadu nasib. Seiring perkembangan kota, ja menjadi bagian terciptanya
kota Palangka Raya. Ja menjadi salah satu saksi terciptanya sebuah hutan
belantara menjadi kota sampai sekarang. Namun dibalik cerita perubahan tersebut
terdapat masalah kepemilikan tanah yang belum terselesaikan. Adanya surat kepemilikan
tanah yang dimiliki oleh lebih dan satu orang membuat konfik antara pemilik
yang satu dengan yang lain, yang sama-sama memiliki bukti kepemilikan tanah.
Keunggulan
:
“Kemudian,
asap kebakaran merayap-merayap sampai ke perkampungan asap dari terbakarnya
hutan menjelma malaikat siap mencabut nyawa siapa saja yang dikehendaki
Seperti
virus yang tak kasatmata asap itu pelan-pelan menggerogoti paru-paru istri saya
Bendungan
yang tak tertahan tak mampu menahan kepiluan yang terpendam membuncah
mengalirkan air kedua sudut mata basah lidah kelu mengurai kata
Oh
Lamiang maafkan suamimu yang lemah suamimu yang tak mampu berbuat apa-apa saat
kau menderita maafkan,maafkan,maafkan”
“Jika
kau tak lagi mengenal dan paham kata lanting dan batang
Jika
kau merasa asing dengan deru mesin kelotok
Jika
kau tak lagi mendengar derik mesin ketinting
Jika
kau tak lagi mendengar derak ujung jukung jukung memecah riak gelombang
Maka
beristigfarlah la ila ha illallah sebagaimana orang akan meninggal
Karena
itu, adalah ayat-ayat kematian sungai Kahayan".
Dari
kutipan diatas, saya merasa karya puisi esai ini memiliki keunggulan pada cara
para penulis merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat yang menceritakan
permasalahan sehingga memicu emosi dan membuat saya meneteskan air mata serta
cara penulis menceritakan tragedi yang sampai membuat saya terbawa kedalam
cerita dan merasakan seperti ada dalam cerita. Terlebih saya adalah Putri asli
Kalimantan Tengah yang merasakan bagaimana hidup sejak kecil sampai sekarang di
tanah Kalimantan.
Catatan
kaki yang tersedia juga memudahkan pembaca dalam mengetahui istilah baik yang
berupa bahasa daerah maupun istilah-istilah lainnya tanpa harus mencari artinya
sendiri. Terangkainya kata demi kata membentuk suatu kalimat yang amat indah
ketika dibaca. Memang di dalam puisi esai memiliki kalimat-kalimat yang
memiliki khas tersendiri ketika dibaca dan itulah keunggulan tersendiri dari
puisi esai.
Cover
bergambar mata yang meneteskan air mata dan gambar pulau Kalimantan yang sedang
terbakar api sambil mengeluarkan asap sangat menggambarkan dengan isi buku yang
menggambarkan kehidupan masyarakat pedalaman Kalimantan yang sedang menangis
meratapi nasib hutan di Kalimantan
sumber pangan masyarakat setempat dibakar oleh orang-orang yang tak
bertanggung jawab.
Kekurangan
:
Dari
yang saya amati puisi esai ini memiliki kekurangan dalam kesalahan
penulisan kata yang tidak memakai spasi
antara kata satu dan kata selanjutnya, sehingga yang seharusnya dua kata yang
terpisah menjadi satu kata karena tidak adanya spasi yang diberikan. Ada
beberapa kata dan istilah yang tidak dilengkapi dengan catatan kaki seperti
pada kata “katambung, Ngawa, Liwa, Biaju, Banjar, Bakumpai, cukong pongah,
Mama' dan papuyu”.Hendaknya penulis lebih teliti lagi dalam penulisan kata dan
melengkapi catatan kaki.
Kesimpulan
:
Walaupun
buku ini terdapat beberapa kekurangan yang telah saya sampaikan sebelumnya,
namun saya mengakui buku ini sangat luar biasa menginspirasi saya sebagai
pembaca. Banyak pengetahuan dan realita kehidupan yang saya dapat setelah
membaca buku ini. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk teman-teman
pembaca dimanapun kalian berada. Buku ini ditulis agar masyarakat tahu fakta-fakta
yang jarang atau bahkan tidak orang
ketahui sebelumnya tentang pulau Kalimantan. Serta, agar terwujudnya gaung
literasi ke plosok-plosok Kalimantan Tengah.
Link facebook : https://web.facebook.com/search/str/lomba+puisi+esai/keywords_blended_posts?filters=eyJycF9hdXRob3IiOiJ7XCJuYW1lXCI6XCJhdXRob3JfZnJpZW5kc19mZWVkXCIsXCJhcmdzXCI6XCJcIn0ifQ%3D%3D
Bagus sekali dan juga menarik
BalasHapus