Minggu, 21 Oktober 2018

Resensi Puisi Esai Jejak Jerit di Tambun Bungai


Judul buku :  Jejak Jerit di Tambun Bungai (Kalimantan Tengah)
Pengarang :     1. Elis Setiati
                      2. Imam Qalyubi
                      3. Lukman Juhara
                      4. Mohammad Alimulhuda
                      5. Noor Hadi
Penerbit  : Cerah Budaya Indonesia
Tahun Terbit :  2018
Tebal Buku :  129 halaman
ISBN :  978-602-0812-27-4
Resensi :  Riska Dwi Lestari (Kalimantan Tengah)
Judul Resensi : Jeritan di Tanah Kalimantan

Sinopsis :
            Dalam seri puisi esai yang merupakan gabungan puisi esai karya Elis Setiati, Imam Qalyubi, Lukman Juhara, Mohammad Alimulduha, dan Noor Hadi menceritakan  tentang orang-orang yang mengalami peristiwa mengharukan, menyedihkan, memilukan, sampai perjuangan dalam menghadapi kenyataan pahit yang ada di sekitar pulau Kalimantan dan dimana hanya segelintir orang yang mengetahui dan peduli akan kesulitan mereka.

            Puisi esai yang berjudul “AIR MATA LITERASI” karya Elis Setiati menceritakan tentang masyarakat di bantaran Sungai Kahayan, Tanjung Perawan, Bahaur, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang kurang terdukung dalam memperoleh pengetahuan karena kurangnya prasarana buku untuk dibaca yang menjadikan masyarakat sekitar mengalami buta aksara dan keterbatasan pengetahuan, padahal minat masyarakat pedalaman dalam membaca sangat tinggi. Namun Tuhan tidak tinggal diam, ada saja cara-Nya untuk membantu umatnya yang sedang
kesusahan, yaitu Ditpolair Polda Kalteng yang berjiwa dedikasi tinggi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan serta memberantas buta aksara di daerah pedalaman tepian sungai Kalimantan Tengah.

Puisi esai kedua karya Imam Qalyubi yang berjudul “JERIT KAHAYAN” bercerita tentang seseorang yang amat rindu dengan Sungai Kahayan yang dulu ia kenal. Sungai Kahayan yang menjadi sumber dan segala sumber pangan dan sumber kehidupan masyarakat suku Dayak. Namun Sungai Kahayan yang kemudian dirusak kekanyaannya oleh orang orang yang tak bertanggung jawab dengan membangun pabrik-pabrik yang mengakibatkan tercemarnya sungai Kahayan dan  mematikan kehidupan masyarakat yang sumber kehidupnya bergantung kepada sungai Kahayan.
Dalam puisi esai ketiga karya Lukman Juhara yang berjudul “JEJAK SUMIGRAN, JEJAK TRANSMIGRAN” berkisah tentang para sumigran yang berusaha mencari penghidupan dengan cara bertransmigrasi ke pulau Kalimantan dengan harapan dapat mendapat pekerjaan. Para Transmigran yang telah berusaha keras membuat hutan belantara menjadi lahan pertanian dan membuka akses jalan sehingga dapat memperoleh akses kesehatan. Namun upaya baik para Sumigran tidak sepenuhya baik dimata orang orang. Sebaliknya, Transmigran dianggap perusak dan penyebab kebakaran hutan. Transmigran dianggap menimbulkan kabut asap karena membakar hutan yang akan dijadikan lahan pertanian.

Puisi keempat berjudul “PLEIDOI” karya Mohammad Alimuihuda bercerita tentang seorang warga pinggiran kali yang dibawa kemeja hijau dan dituduh sebagai pelaku perusak lahan sawit milik pemerintah. Ia mengelak atas tuduhan tersebut dan berusaha keras menjelaskan apakah mungkin dirinya yang melakukan hal tersebut. Namun Hakim Yang Mulia telah membacakan keputusannya, walupun mengelak dan segala fakta yang ia utarakan namun bukti konkrit dan para warga tidak dapat ditolak oleh Hakim Yang Mulia, ia pun membisu meratapi nasib yang menimpanya.

Puisi kelima karya Noor Hadi yang berjudul “SENJA DI BUMI TAMBUN BUNGAI” menceritakan tentang seorang pemuda lulusan SMP yang mencoba merantau ke kota Palangka Raya untuk mengadu nasib. Seiring perkembangan kota, ja menjadi bagian terciptanya kota Palangka Raya. Ja menjadi salah satu saksi terciptanya sebuah hutan belantara menjadi kota sampai sekarang. Namun dibalik cerita perubahan tersebut terdapat masalah kepemilikan tanah yang belum terselesaikan. Adanya surat kepemilikan tanah yang dimiliki oleh lebih dan satu orang membuat konfik antara pemilik yang satu dengan yang lain, yang sama-sama memiliki bukti kepemilikan tanah.

Keunggulan :
“Kemudian, asap kebakaran merayap-merayap sampai ke perkampungan asap dari terbakarnya hutan menjelma malaikat siap mencabut nyawa siapa saja yang dikehendaki
Seperti virus yang tak kasatmata asap itu pelan-pelan menggerogoti paru-paru istri saya
Bendungan yang tak tertahan tak mampu menahan kepiluan yang terpendam membuncah mengalirkan air kedua sudut mata basah lidah kelu mengurai kata
Oh Lamiang maafkan suamimu yang lemah suamimu yang tak mampu berbuat apa-apa saat kau menderita maafkan,maafkan,maafkan”

“Jika kau tak lagi mengenal dan paham kata lanting dan batang
Jika kau merasa asing dengan deru mesin kelotok
Jika kau tak lagi mendengar derik mesin ketinting
Jika kau tak lagi mendengar derak ujung jukung jukung memecah riak gelombang
Maka beristigfarlah la ila ha illallah sebagaimana orang akan meninggal
Karena itu, adalah ayat-ayat kematian sungai Kahayan".

Dari kutipan diatas, saya merasa karya puisi esai ini memiliki keunggulan pada cara para penulis merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat yang menceritakan permasalahan sehingga memicu emosi dan membuat saya meneteskan air mata serta cara penulis menceritakan tragedi yang sampai membuat saya terbawa kedalam cerita dan merasakan seperti ada dalam cerita. Terlebih saya adalah Putri asli Kalimantan Tengah yang merasakan bagaimana hidup sejak kecil sampai sekarang di tanah Kalimantan.
Catatan kaki yang tersedia juga memudahkan pembaca dalam mengetahui istilah baik yang berupa bahasa daerah maupun istilah-istilah lainnya tanpa harus mencari artinya sendiri. Terangkainya kata demi kata membentuk suatu kalimat yang amat indah ketika dibaca. Memang di dalam puisi esai memiliki kalimat-kalimat yang memiliki khas tersendiri ketika dibaca dan itulah keunggulan tersendiri dari puisi esai.
Cover bergambar mata yang meneteskan air mata dan gambar pulau Kalimantan yang sedang terbakar api sambil mengeluarkan asap sangat menggambarkan dengan isi buku yang menggambarkan kehidupan masyarakat pedalaman Kalimantan yang sedang menangis meratapi nasib hutan di Kalimantan  sumber pangan masyarakat setempat dibakar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.

Kekurangan :
Dari yang saya amati puisi esai ini memiliki kekurangan dalam kesalahan penulisan  kata yang tidak memakai spasi antara kata satu dan kata selanjutnya, sehingga yang seharusnya dua kata yang terpisah menjadi satu kata karena tidak adanya spasi yang diberikan. Ada beberapa kata dan istilah yang tidak dilengkapi dengan catatan kaki seperti pada kata “katambung, Ngawa, Liwa, Biaju, Banjar, Bakumpai, cukong pongah, Mama' dan papuyu”.Hendaknya penulis lebih teliti lagi dalam penulisan kata dan melengkapi catatan kaki.

Kesimpulan :
Walaupun buku ini terdapat beberapa kekurangan yang telah saya sampaikan sebelumnya, namun saya mengakui buku ini sangat luar biasa menginspirasi saya sebagai pembaca. Banyak pengetahuan dan realita kehidupan yang saya dapat setelah membaca buku ini. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk teman-teman pembaca dimanapun kalian berada. Buku ini ditulis agar masyarakat tahu fakta-fakta yang  jarang atau bahkan tidak orang ketahui sebelumnya tentang pulau Kalimantan. Serta, agar terwujudnya gaung literasi ke plosok-plosok Kalimantan Tengah.


Link facebook : https://web.facebook.com/search/str/lomba+puisi+esai/keywords_blended_posts?filters=eyJycF9hdXRob3IiOiJ7XCJuYW1lXCI6XCJhdXRob3JfZnJpZW5kc19mZWVkXCIsXCJhcmdzXCI6XCJcIn0ifQ%3D%3D
Share:

1 komentar: